Dasar Hukum Arbitrase dan Konsep Arbitrase dalam Hukum Positif

Dasar Hukum Arbitrase dan Konsep Arbitrase dalam Hukum Positif
Dasar Hukum Arbitrase dan Konsep Arbitrase dalam Hukum Positif. (Gambar: study.adityatekno.com)

Tugas Makalah Dasar Hukum Arbitrase dan Konsep Arbitrase dalam Hukum Positif ini saya jadikan postingan agar lebih mudah untuk mengaksesnya tanpa aplikasi word. 

Bagi kamu yang belum baca tentang pengertian arbitrase, bisa simak di postingan sebelumnya Pengertian Arbitrase, Arbitrase Syariah, Tujuan, Jenis-Jenis, Manfaat dan Prosedurnya.

Selamat membaca!

Dasar Hukum Arbitrase dan Konsep Arbitrase dalam Hukum Positif

A. Dasar Hukum Arbitrase dalam Islam

Keberadaan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sebagai lembaga arbitrase Islam di Indonesia merupakan salah satu kajian yuridis yang sangat menarik dalam perspektif Islam. Berdasarkan kajian yuridis, historis maupun sosiologis keislaman dapat dikemukakan bahwa sangat kuat landasan hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta Ijma’ Ulama.

Terdapat sejumlah alasan dan argumentasi tentang keharusan adanya Lembaga Arbitrase Islam seperti halnya Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). Demikian juga kenyataan sosiologis menunjukkan bahwa masyarakat dimanapun sangat membutuhkan suatu lembaga untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka dengan cara mudah, murah, dan memperoleh rasa keadilan.

Dari segi kajian yuridis formal keislaman, menunjukkan bahwa keharusan dan keberadaan Lembaga Arbitrase Islam (Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang bertujuan menyelesaikan sengketa atau permasalahan umat Islam merupakan suatu kewajiban. Sumber hukum yang mengharuskan adanya Lembaga Arbitrase Islam (Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), yaitu Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam pertama. Perintah Allah Swt. Tentang keharusan dan keberadaan Lembaga Arbitrase Islam terdapat dalam Al-Qur’an :

Surat Al-Hujurat ayat 9

وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ ٱقْتَتَلُوا۟ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنۢ بَغَتْ إِحْدَىٰهُمَا عَلَى ٱلْأُخْرَىٰ فَقَٰتِلُوا۟ ٱلَّتِى تَبْغِى حَتَّىٰ تَفِىٓءَ إِلَىٰٓ أَمْرِ ٱللَّهِ ۚ فَإِن فَآءَتْ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَهُمَا بِٱلْعَدْلِ وَأَقْسِطُوٓا۟ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ
"Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil."

Surat An-Nisa ayat 35

ووَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَٱبْعَثُوا۟ حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِۦ وَحَكَمًا مِّنْ أَهْلِهَآ إِن يُرِيدَآ إِصْلَٰحًا يُوَفِّقِ ٱللَّهُ بَيْنَهُمَآ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
"Dan jika kamu khawatir akan terjadi persengketaan antara keduanya (suami-istri), maka kirim lah seorang hakam (Arbiter) dari keluarga perempuan dan dari keluarga laki-laki. Jika kedua orang hakam itu mengadakan perbaikan (perdamaian) niscaya Allah Swt akan memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Swt Maha Mengetahui dan Mengenal."

Dari kedua ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa lembaga hakam dalam perspektif Hukum Islam atau Badan Arbitrase dalam perspektif Hukum Positif merupakan suatu kebutuhan untuk menyelesaikan sengketa umat/masyarakat di manapun berada Ukhuwah Islamiyah tetap terjaga secara utuh.

Bahkan, pada Surat Al-Hujurat ayat 9 di atas disebutkan apabila salah satu dari keduanya melakukan wanprestasi atau pelanggaran (aniya), maka harus diberi sanksi dengan jalan upaya paksa (diperangi). Apalagi wanprestasi dan pelanggaran tersebut mempunyai nilai eksekutorial, maka harus dilakukan upaya paksa tersebut sesuai dengan klausula perjanjian para pihak atau putusan Badan Arbitrase, baik putusan tunggal maupun majelis.

Dasar Hukum Arbitrase dalam Undang-Undang

Yang menjadi dasar hukum arbitrase menurut hukum positif adalah :

1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970

Secara tidak langsung pasal 3 bagian penjelasan Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 mengakui keabsahan arbitrase, dimana pada bagian akhir disebutkan : "Penyelesaian perkara diluar Pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) kerap diperbolehkan". Penjelasan pasal 3 kalimat terakhir itulah yang menjadi landasan hukum kebolehan perjanjian arbitrase. Berarti Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagai Undang-Undang Pokok Kehakiman membuka kemungkinan penyelesaian sengketa melalui badan Arbitrase.

2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan : "Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya". (KUHPdt. Pasal 1338 ayat 1). Oleh karena itu, dalam dunia usaha atau bisnis, para pihak dalam membuat perjanjian tidak hanya menentukan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak, tetapi juga menentukan bagaimana cara penyelesaian jika timbul sengketa di kemudian hari. Mengenai cara penyelesaian sengketa yang mungkin timbul, para pihak dapat, membuat klausula perjanjian yang di dalamnya mencantumkan bahwa apabila timbul suatu sengketa maka penyelesaiannya dilakukan secara musyawarah atau melalui badan Arbitrase.

3. Pasal 377 HIR atau pasal 705 RBg

Pasal 377 HIR atau 705 RBg ini berbunyi : “Jika orang Indonesia dan orang Timur asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pemisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa". Pasal ini menegaskan kebolehan pihak-pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketa melalui Arbitrase. Arbitrase diberi fungsi dan kewenangan untuk menyelesaikannya dalam bentuk keputusan.

4. Pasal 615-651 Rv

Buku Ketiga Reglemen Hukum Acara Perdata atau Rv dengan judul "Aneka Acara" dari pasal 615-651 Rv merupakan salah satu dasar hukum Arbitrase, dengan liputan pengaturan sebagai berikut:

  1. Bagian I (615-623) : Persetujuan Arbitrase dan Pengangkatan arbiter.
  2. Bagian II (624-630) : Pemeriksaan dimuka Badan Arbitrase.
  3. Bagian III (631-640) : Putusan Arbitrase.
  4. Bagian IV (641-647) : Upaya-upaya terhadap putusan Arbitrase.
  5. Bagian V (648-651) : Berakhirnya Acara-acara Arbitrase.

5. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

Undang-undang ini adalah undang-undang khusus tentang Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, yang disahkan di Jakarta pada tanggal 12 Agustus 1999 oleh Presiden B.J. Habibie. Undang-undang ini secara lengkap mengatur tentang Arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar jalur peradilan resmi.

Secara umum, kerangka isi UU ini adalah:

  1. Bab I : Ketentuan Umum, terdiri dari 5 pasal.
  2. Bab I I : Alternatif Penyelesaian Sengketa, hanya 1 Pasal.
  3. Bab III : Syarat Arbitrase, Pengangkatan Arbiter dan Hak Ingkar, terdiri dari 20 Pasal.
  4. Bab IV : Acara yang berlaku di Hadapan Majelis Arbitrase, terdiri dari 25 Pasal.
  5. Bab V : Pendapat dan Putusan Arbitrase, terdiri dari 7 Pasal.
  6. Bab VI : Pelaksanaan Putusan Arbitrase, terdiri dari 11 Pasal.
  7. Bab VII: Pembatalan Putusan Arbitrase, terdiri dari 3 Pasal.
  8. Bab VIII : Berakhirnya Tugas Arbiter, 3 Pasal.
  9. Bab IX : Biaya Arbitrase, 2 Pasal.
  10. Bab X : Ketentuan Peralihan, 2 Pasal.
  11. Bab XI : Ketentuan Penutup, 2 Pasal.

Unsur-Unsur Arbitrase

Unsur-unsur yang menjadi syarat sahnya Arbitrase diatur secara umum pada bab III pasal 7-11 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999. Secara khusus syarat-syarat Arbitrase itu diatur pada pasal 8 ayat (2) yang berbunyi: 

Surat pemberitahuan untuk mengadakan Arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat dengan jelas:
  1. Nama dan alamat para pihak;
  2. Penunjukan kepada klausul atau perjanjian Arbitrase yang berlaku;
  3. Perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa;
  4. Dasar tuntutan atau jumlah yang dituntut, apabila ada;
  5. Cara penyelesaian yang dikehendaki.

Syarat-Syarat Arbiter

Syarat-syarat orang yang menjadi arbiter diatur pada pasal 12 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 sebagai berikut:

1. Yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter harus memenuhi syarat :

  1. Cakap melakukan tindakan hukum;
  2. Berumur paling rendah 35 tahun;
  3. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa;
  4. Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; dan
  5. Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif dibidangnya paling sedikit 15 tahun.

2. Hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan lainnya tidak dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter

Berdasarkan syarat-syarat arbiter sebagaimana diuraikan diatas tadi, dapat disimpulkan bahwa untuk dapat diangkat menjadi arbiter, orang tersebut harus cakap hukum, ahli dan berpengalaman dibidangnya, adil dan tidak mengharapkan pamrih atas putusannya, serta bukan seorang pejabat peradilan.

Peranan Arbitrase dalam Penyelesaian Sengketa

Peranan Arbiter dalam penyelesaian sengketa adalah sama dengan peranan hakim pada pengadilan negeri, yaitu memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara/sengketa yang diajukan kepadanya. Dalam proses pemeriksaan, arbiter berwenang meminta para pihak untuk menghadirkan bukti-bukti atau saksi, seperti yang diatur pada pasal 49 ayat (1) UU No. 30 tahun 1999 yang berbunyi: "Atas perintah arbiter atau majelis arbitrase atau atas permintaan para pihak, dapat dipanggil seorang saksi atau atau lebih atau saksi ahli atau lebih, untuk didengar keterangannya." 

Karena wewenang arbitrase/lembaga arbitrase sama dengan wewenang hakim/Pengadilan Negeri, maka putusannya juga bersifat inengikat dan mempunyai kedudukan hukum yang kuat dan Pengadilan Negeri tidak berhak mengadili perkara yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase (pasal 3). Namun kewenangannya hanya terbatas pada sengketa dibidang perdagangan dan terhadap hak yang sepenuhnya dikuasai oleh para pihak (pasal 5).

Kesimpulan

Untuk kesimpulan bisa disimpulkan sendiri ya. hehe

Demikian Dasar Hukum Arbitrase dan Konsep Arbitrase dalam Hukum Positif. Semoga bermanfaat dan membantu anda untuk menambah referensi.

Sumber referensi:

  • https://tafsirweb.com/9779-quran-surat-al-hujurat-ayat-9.html
  • https://tafsirweb.com/1567-quran-surat-an-nisa-ayat-35.html
  • Adolf, Huala. 1991. Arbitrase Komersial Internasional. Jakarta : Rajawali Pers.
  • BadrvAzaman. 1994. Arbitrase Islam di lndonesia, Jakarta: BAMUI.
  • Departemen Agama RL. 1984/1985. Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta : Proyek
  • Pengadaan Kitab Suci.
  • Departemen Kehakiman RI. 1981. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Jakarta.
  • Departemen Kehakiman RI. 1999. Undang-undang. No. 30 Tahun 1999. Jakarta.
  • Rosyadi, A. Rahmat dan Ngatino, 2002, Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
  • Irianto, Muhammad, et.al. 1999. Lima Undang-Undang Republik Indonesia tahun 1999. Jakarta: Pasca Usaha.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url